Nama : Fadhil Adrian
NPM : 22211559
Kelas : 2EB08
Posting 4 jurnal 1
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
DALAM USAHA AIR MINUM
DEPOT (AMD) ISI
ULANG DITINJAU DARI
UNDANG – UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
OLEH :
GATOT EFDI SAPUTRA
NIM : 030 200 082
DEPARTEMEN : HUKUM
EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
MEDAN
2007
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN DI INDONESIA
A. Hukum perlindungan konsumen
Setiap manusia pada dasarnya
membutuhkan barang dan/atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam dan
dapat
dibedakan atas berbagai macam kebutuhan. Jika dilihat dari
tingkatannya, maka
kebutuhan konsumen dapat terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan
primer, sekunder
dan tersier. Selain itu, kebutuhan manusia juga dapat dibagi
menjadi kebutuhan
jasmani dan rohani.
Dengan adanya bermacam-macam
dan berbagai jenis kebutuhan tersebut
maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik
berupa barang maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan
oleh pelaku
usaha sehingga tercipta hubungan timbal balik antara konsumen dan
pelaku usaha
serta saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Aneka ragam
barang
dan/atau jasa yang ditawarkan oleh para pelaku usaha kepada
konsumen sebagai
sebuah hubungan timbal balik.10
Terdapat saling
ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan
pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan
pelaku usaha
berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya,
kedudukan
konsumen dan pelaku usaha tidaklah seimbang. Konsumen seringkali
berada pada
10 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu
Hukum dan Tata
Hukum, cet . V, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989),
hal . 43 .
posisi atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan
kedudukan pelaku
usaha.11
Salah satu yang menyebabkan
kedudukan konsumen lebih lemah bila
dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada
umumnya
kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar,
jelas dan
dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa.12
Dari uraian di atas, dapat di ketahui bahwa kedudukan konsumen
berada
pada posisi yang lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan
pelaku usaha.
Ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha
inilah yang
menyebabkan pentingnya suatu perlindungan konsumen ditegakkan dan
Konsumen tidak
memiliki kesempatan dan sarana yang cukup untuk mengakses berbagai
informasi
yang dibutuhkan dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan suatu
barang
dan/atau jasa. Hal ini dapat terjadi karena pelaku usaha sebagai
pihak yang
memproduksi dan menawarkan barang dan/atau jasa tidak memberikan
informasi
yang jelas mengenai keadaan, cara penggunaan atau jaminan atas
barang dan/atau
jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Bahkan seringkali, pelaku
usaha
memberikan informasi yang menyesatkan, mengelabui atau tidak jujur
kepada
konsumen demi kepentingan sepihak untuk memperoleh keuntungan yang
semaksimal mungkin tanpa memperdulikan konsumen. Kurangnya
informasi dan
akses informasi ini mempunyai dampak yang cukup besar bagi
konsumen,
terutama dalam memperoleh kenyamanan, keamanan, keselamatan
dan/atau
kesehatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa.
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu
Undang-undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga konsumen
berada pada
posisi yang seimbang dengan kedudukan pelaku usaha.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Secara historis perlindungan
konsumen diawali dengan adanya gerakangerakan
konsumen pada diakhir abad ke-19 yaitu saat terbentuknya Liga
Konsumen untuk pertama kalinya di New York pad atahun 1891.13
Dalam perkembangan hukum perlindungan konsumen, telah diatur
dalam resolusi PBB Nomor 39/248 tahun 1985 . Dalam resolusi ini
kepentingan
konsumen yang harus dilindungi meliputi :
Dalam perkembangannya
gerakan konsumen terus bangkit, tidak hanya di negara maju saja tetapi juga
menyebar sampai ke negara dunia ketiga. Organisasi-organisasi
konsumen bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga semakin
diperhitungkan keadaannya. Mereka ikut dilibatkkan dalam
perundinganperundingan
organisasi perdagangan dunia (WTO). Kebijakan konsumen dan
proteksi kesehatan konsumen saat ini sudah terintegrasi di banyak
negara,
termasuk negara dunia ketiga.
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanan.
b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan
kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan
kehendak dan kebutuhan pribadi.
d. Pendidikan konsumen.
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.
Sebelum lahirnya
Undang-undang tentang perlindungan konsumen,
terdapat beberapa aturan yang berhubungan dengan konsumen namun
masih
dalam pengertian konsumen secara luas, seperti Undang-undang Nomor
10 tahun
1961 tentang barang, Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang
Pokok-pokok
kesehatan, Undang-undang Nomor 11 tahun 1962 tentang hygiene untuk
usaha
bagi umum, Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang hygiene, dan
lain-lain.
Peraturan-peraturan tersebut
secara tidak langsung memberi perlindungan kepada
masyarakat termasuk pengertian konsumen tetapi belum mengatur
secara khusus
dinyatakan dalam fungsinya sebagai konsumen.15
Masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun
1970-
an di Indonesia yang ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga
Konsumen
Indonesia (YLKI) pada Mei 1973.Sejak saat itu suara untuk
melindungi
konsumen dan mewujudkan Undang-undang Perlindungan Konsumen makin
gencar dilakukan, misalnya melalui pembahasan ilmiah atau non
ilmiah, seminar31
seminar serta penelitian mengenai perlindungan konsumen. Untuk
mengingat
sejarahnya, beberapa di antara kegiatan tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
tentang Masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desembar 1975).
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,
Penelitian
tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun
1979-1980).
c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan
Perundangundangan
tentang Perlindungan Konsumen (proyek tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen
Indonesia,
suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-undang
Perlindungan
Konsumen (tahun 1981)
e. Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Rancangan Undang-undang tentang
Perlindungan
Konsumen (tahun 1992).
f. Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, rancangan
Undang-undang
Perlindungan Konsumen (tahun 1997).
g. DPR – RI, Rancangan Undang-undang Usul Inisiatif DPR tentang
Undangundang
Perlindungan Konsumen, Desember 1998.
Selain pembahasan-pembahasan
yang telah disebutkan di atas, juga
terdapat berbagai seminar, ceramah-ceramah dan penyuluhan yang
berkaitan
dengan masalah perlindungan konsumen. Sayangnya usaha-usaha yang
dilakukan
YLKI kurang mendapat dukungan dari masyarakat, pelaku usaha dan
pemerintah
di masa orde baru. Pemerintah orde baru lebih cenderung pada
pemberdayaan
pelaku usaha dan mengabaikan pemberdayaan konsumen. Namun setelah
pemerintahan berganti, usaha memperjuangkan hak konsumen mulai
menampakkan hasil. Akhirnya, konsumen Indonesia boleh bangga
karena mulai
20 April 2000 hak mereka mulai diakui secara legal seiring
dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 8 tahun 1999 mengenai
Perlindungan
Konsumen. Bagi aktivis gerakan konsumen, ini adalah sebuah babak
baru dari
perjuangan mereka setelah 25 tahun memperjuangkannya.18
Dalam memberikan pengertian
dan batasan hukum perlindungan
konsumen, terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan
perlindungan
konsumen. Pengertian hukum konsumen menurut Az. Nasution adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah
penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara
penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.
Undang-undang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat menjadi
landasan yang kuat bagi
konsumen untuk menuntut hak-haknya.
C. Pengertian Dan Batasan Hukum Perlindungan Konsumen
Sedangkan batasan hukum
perlindungan konsumen sebagai bagian
khusus dari hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah
penyediaan dan pengunaan produk konsumen antara penyedia dan
penggunanya,
dalam kehidupuan bermasyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor
57 tahun 2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional memberikan defenisi perlindungan konsumen, yaitu
segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan
kepada konsumen.
a. Dapat ditanggulanginya hubungan-hubungan hukum dan
masalah-masalah
yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia produk konsumen.
Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, hukum umum (general law)
masih tetap
digunakan dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen.
Penerbitan hukum
umum, tidak ditujukan khusus untuk perlindungan konsumen namun
dapat
digunakan dan memiliki segi-segi positif dan negatif. Segi positif
dari penggunaan
peraturan-peraturan yang ada adalah :
b. Berarti kedudukan konsumen dan penyedia produk konsumen adalah
sama di
depan hukum.
Sedangkan segi negatifnya adalah :
a. Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan
Perundangundangan
yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen.
b. Kedudukan hukum yang sama antara konsumen dan penyedia produk
konsumen (pengusaha) menjadi tidak berarti apa-apa, karena posisi
konsumen
tidak seimbang, lemah dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar,
dibandingkan dengan pengusaha.
c. Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat
dan biayanya
murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang berlaku.
Tanggal : 06-05-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar